Minimnya Informasi Kepemiluan Bagi Mahasiswa Perantau



Daerah Istimewa Yogyakarta salah satu provinsi yang dikenal sebagai daerah miniatur Indonesia. Banyak kalangan anak muda di Indonesia datang ke DIY untuk mengenyam pendidikan. Masih banyak orangtua dari luar daerah mempercayai anaknya untuk bersekolah di DIY dan masih banyak kalangan orangtua mempercayai DIY sebagai tempat untuk mendapatkan bekal ilmu yang cukup untuk masa depan anak mereka. Melihat situasi yang seperti ini tentu Generasi Muda di Daerah Istimewa Yogyakarta cukup besar dan akan berefek pada pemilih muda di pemilu serentak 2019.
Jumlah mahasiswa yang kemungkinan cukup besar di Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi tugas penting penyelenggara pemilu khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk dapat memfasilitasi hak-hak pemilih mahasiswa perantau agar dapat memberikan suaranya pada pemilu serentak 2019. Tentu ini bukan tugas yang sangat mudah, karena selama ini Komisi Penyelenggara pemilu disibukkan dengan berbagai tahapan pemilu yang cukup padat.

Minimnya Informasi
Harus disadari oleh berbagai kalangan mahasiswa baik perantau atau asli daerah DIY. Masih banyak kalangan mahasiswa minim mendapatkan informasi kepemiluan. Jangankan mengetahui informasi terkait pindah pemilih, mahasiswa masih banyak yang tidak mengetahui tanggal, bulan, dan hari pemilu serentak 2019. Komunitas Independen Sadar Pemilu melakukan mini riset terkait perilaku Generasi Millenial terhadap pemilu serentak 2019 dengan mengambil 400 responden dengan spekulasi umur 17-25 tahun yang menitik beratkan pada kalangan mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Menemukan sebuah fenomena yang memprihatinkan, dalam mini riset menunjukan bahwa ketika ditanyakan apakah mereka mengetahui hari dan tanggal pemilu serentak 2019? Hampir 60% mereka tidak mengetahui secara detail, ketika ditanyakan kembali apakah mereka sudah terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT)? Jawaban dari responden hampir 80% mereka tidak mengetahui informasi bagaimana cara mengecek apakah mereka sudah terdaftar atau tidak, padahal KPU RI telah meluncurkan sebuah aplikasi yaitu Lindungihakpilihmu. Berarti masih banyak masyarakat tidak hanya mahasiswa belum mengetahui mengenai aplikasi tersebut. Ketika ditanyakan kembali kepada responden apakah akan memilih pada pemilu serentak 2019? Jawaban mereka hampir lebih dari separuh, menjawab BELUM TAHU. Ada berbagai alasan yang mendasari mereka belum tahu menggunakan hak pilihnya, salah satunya adalah mereka tidak mengetahui bagaimana cara memilih di DIY karena status mereka sebagai mahasiswa perantau.
            Fenomena yang didapatkan diatas sebenarnya adalah bagian kecil realita mahasiswa yang sebenarnya masih minim untuk mendapatkan pendidikan politik atau hal-hal terkait dengan kepemiluan. Informasi mengenai pendidikan politik dan teknis kepemiluan sterotipenya biasanya didapatkan di mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, namun masih banyak kalangan mahasiswa Sospol yang acuh terhadap informasi terkait teknis kepemiluan ataupun pentingnya pemilu dan demokrasi bagi bangsa. Apalagi bagi kalangan mahasiswa selain Sospol atau malah mahasiswa Eksakta, informasi seperti ini menjadi barang tabu bagi mereka dan tidak tertarik untuk dibahas dalam diskusi-diskusi dikalangan mahasiswa ini.
            Kondisi mahasiswa yang seperti ini menjadi tugas berat penyelenggara pemilu khususnya KPU di tingkat Provinsi, Kab/Kota serta Badan Ad Hoc untuk melakukan sosialisasi secara terstruktur, masif, dan inovatif. Istilah inovatif ini yang penulis rasa penyelenggara pemilu belum mampu mewujudkannya di generasi yang biasa didengar adalah Generasi Millenial atau Z. Terkesan penyelenggara pemilu masih mengunakan cara zaman old sedangkan konstituen atau pemilu millenial terkesan setiap perilaku konsumtifnya adalah zaman now

Pergeseran Perilaku Generasi Millenial dan Z dalam Berdemokrasi
Penulis akan sedikit menerangkan pembagian Generasi dalam teori Strauss, ada 3 kategori pembagian yaitu Generasi X (kelahiran 1965-1980), Generasi Y (kelahiran 1981-1999), Generasi Z (kelahiran 2000an). Dari ketiga kategori ini memiliki karakter kehidupan yang berbeda dalam setiap generasi. Generasi X yang lahir pada tahun – tahun awal dari perkembangan teknologi dan informasi seperti penggunaan PC (personal computer), video games, tv kabel, dan internet. Ciri – ciri dari generasi ini adalah: mampu beradaptasi, mampu menerima perubahan dengan baik dan disebut sebagai generasi yang tangguh, memiliki karakter mandiri dan loyal. Namun generasi ini masih banyak yang menyukai hal-hal yang bersifat formal. Sedangkan Generasi Y atau biasa yang dikenal Generasi Millenial, Generasi Y dikenal dengan sebutan generasi millenial atau milenium. Ungkapan Generasi Y mulai dipakai pada editorial koran besar Amerika Serikat pada Agustus 1993. Generasi ini banyak menggunakan teknologi komunikasi instan seperti Email, SMS, instant messaging dan media sosial seperti Facebook dan Twitter, dengan kata lain Generasi Y adalah generasi yang tumbuh pada era internet booming. Karakteristik masing-masing individu berbeda, tergantung dimana ia dibesarkan, strata ekonomi, dan sosial keluarganya, pola komunikasinya sangat terbuka dibanding generasi-generasi sebelumnya, pemakai media sosial yang fanatik dan kehidupannya sangat terpengaruh dengan perkembangan teknologi, lebih terbuka dengan pandangan politik dan ekonomi, sehingga mereka terlihat sangat reaktif terhadap perubahan lingkungan yang terjadi di sekelilingnya, memiliki perhatian yang lebih terhadap kekayaan. Dan biasanya generasi ini menginginkan sesuatu hal yang cepat dan instan. Generasi Z adalah suatu generasi pasca Millenial yang dimana dimasa kelahirannya internet sudah sangat cepat dan keterbukaan informasi sangat cepat di dapatkan, karakternya sama dengan Generasi Y.
Di tahun 2019 Generasi Y dan Z adalah generasi paling produktif dalam menanggapi isu-isu kebangsaan, dan memiliki basis kekuatan politik yang cukup besar. Tahun 2019, Indonesia menghadapi era baru dalam berdemokrasi yaitu Demokrasi Digital atau Cyberdemocracy. Partisipasi politik beralih ke media sosial dalam menyampaikan ide dan gagasan, dan pasar Cyberdemocracy di minati oleh kalangan Generasi Y dan Z atau yang dikenal dengan Generasi Muda. Langkah yang harus diambil oleh Penyelenggara Pemilu adalah memenangkan informasi di media sosial, informasi terkait pemilu dapat di informasikan dengan cara masif, terstruktur, dan informatif di media sosial. Dalam mini riset yang dilakukan oleh Komunitas Independen Sadar Pemilu, dalam 400 respon rata-rata berusia 17-25 tahun 90% mereka dalam 1 minggu melakukan update status berkisar 3-6 kali. Artinya intensitas anak muda membuka media sosial cukup besar dan rutin. Dan mereka meyakini bahwa media sosial sebagai sumber informasi efektif dibandingkan media cetak. Masalahnya informasi yang mereka dapatkan justru kebanyakan dari akun-akun bodong yang setiap Tweet dan status medianya hanya memberikan pendidikan politik yang menjatuhkan lawan politik atau mengenai hal-hal berkaitan isu-isu hoax. Penyelenggara Pemilu khususnya KPU, dapat mengambil peran ini untuk mengaet anak muda dalam memberikan informasi keterkaitan pemilu dengan cara masif, terstruktur, dan inovatif.
Pasaran mahasiswa atau anak muda menyukai informasi yang inovatif, kadang penyelenggara pemilu sangat kurang disisi inovatif. Bagaimana konten yang ditampilkan bersifat lucu dan menarik perhatian, inilah fenomena sesungguhnya Generasi Y dan Z. Generasi Y dan Z ini apabila didalam kategori pemilih mereka masuk dalam status Mahasiswa dan Pelajar.
Dalam fenomena Cyberdemocracy hari ini, pertarungan di dunia maya menjadi jembatan penyelenggara pemilu dalam mensosialisasikan tahapan pemilu, salah satunya mengenai Daftar Pemilih bagi mahasiswa perantau. Ini merupakan cara paling ampuh untuk menjangkau mahasiswa perantau, ciri-ciri yang harus dipahami oleh KPU ialah Generasi Y dan Z sudah malas mendapatkan informasi kepemiluan dengan metode ceramah. Berarti KPU harus mampu menghadirkan gaya baru dalam memberikan pendidikan politik bagi generasi muda.

Membangun Kerjasama Secara Masif
Pendidikan tentang pentingnya pemilu dan demokrasi dikalangan mahasiswa selain Sospol sangat jarang di dapatkan, dan kedekatan antara penyelenggara pemilu khususnya KPU dengan mahasiswa sangat kurang. Kedekatan ini muncul ketika tahapan pemilu hadir dan sangat singkat. Melihat situasi pemilu serentak 2019 yang tinggal menghitung hari, dirasa KPU khususnya di DIY perlu untuk sesegera mungkin melakukan kerjasama di setiap asrama mahasiswa perantau dalam menyukseskan pemilu. Kerjasama yang harus dilakukan adalah melakukan pendataan secara berkala nama-nama mahasiswa perantau yang akan memilih di Daerah Istimewa Yogyakarta.  
Penulis menganalisis masih banyak mahasiswa perantau yang acuh terhadap tahapan pemilu serentak 2019, dikarenakan arus informasi yang mereka dapatkan masih minim. Dan situasi politik yang membingungkan dan tontonan politik yang didapatkan oleh mereka membosankan, sehingga membuat generasi muda kebanyakan acuh terhadap proses tahapan pemilu yang berlangsung. Masalah ini KPU sesegera mungkin mensosialisasikan pentingnya pemilu bagi bangsa dan negara, dan secepat mungkin mengambil langkah kerjasama tidak hanya dengan asrama mahasiswa perantau namun dengan organisasi-organisasi kampus.

KPU harus menjadi badan penyelenggara yang terbuka bagi kalangan anak muda, artinya KPU dapat membangun kerjasama berkaitan dengan kegiatan digitalisasi, minimal menjadi wadah penyampaian gagasan ide kreatif bagi anak muda. Hari ini sangat jarang mendengar KPU bersama anak muda memikirkan konten-konten informasi yang lucu dan menarik bagi masyarakat atau bagi generasi sebaya anak muda. Mungkin KPU dapat mengambil langkah kerjasama dengan anak-anak muda yang mahir dalam digitalisasi khususnya konten-konten yang menarik bagi pasaran anak muda. 


Moch Edward Trias Pahlevi. S.IP
Kordinator Umum Komunitas Independen Sadar Pemilu
Mahasiswa Magister Ilmu pemerintahan UMY

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Spektrum Arah Gerak Partai Politik di Indonesia; Antara Kiri dan Kanan

Tipe Pemilih Dalam Pemilu

Membumikan Gerakan Literasi Media Berbasis Pendidikan Politik