Spektrum Arah Gerak Partai Politik di Indonesia; Antara Kiri dan Kanan
Partai politik adalah salah satu elemen penting dalam sebuah
legitimasi pemilu pada negara yang menganut sistem demokrasi. Masing-masing
dari partai politik memiliki visi dan misi serta arah gerak kebijakan yang akan
ditetapkan setelah mendapat mandat kekuasaan dari masyarakat untuk mengatur
daerahnya masing-masing, hal ini membuat partai memiliki sebuah ideologi dasar
yang membuat perbedaan antara partai satu dengan partai yang lainya. Saat ini
tercatat ada 20 partai yang terdaftar di KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang
terbagi menjadi 17 partai nasional dan 3 partai lokal yang akan bertarung di
kontestasi pemilu pada 17 april 2019 yang akan datang dan masing-masing partai
memiliki arah haluan politik sebagai pondasi dasar partai politik itu
terbentuk, berawal dari kader-kadernya yang memiliki arah pandangan yang sama
sampai kepentingan-kepentingan terselubung dalam menetapkan sebuah ideologi
partai. Hal yang menjadi fokus tulisan ini
adalah apakah masyarakat Indonesia mengerti mengenai arah spektrum gerakan
partai politik yang ada di Indonesia? Padahal hal ini sangat penting diketahui
masyarakat terlebih hal seperti ini akan menyangkut kebijakan-kebijakan yang
akan dikeluarkan oleh kader-kader partai politik saat menjabat.
Arah Spektrum Haluan Partai Politik di Indonesia
Spektrum
politik memiliki 2 arah yang berlawanan antara sisi kiri sebagai sisi yang lebih
progresif dan sisi kanan sebagai sisi yang lebih konservatif, lalu bagaimanakah
cara membedakan partai politik di Indonesia menurut spektrum politik? Partai
politik yang memiliki haluan sayap kiri adalah partai politik yang menginginkan
intervensi pemerintah dalam setiap kebijakannya mulai dari kebijakan ekonomi, kemakmuran
dan berbagai kebijakan sosial lainya yang akan dirumuskan oleh partai berhaluan
sayap kiri. Hal seperti ini sangatlah kontras dengan partai berhaluan sayap
kanan yang lebih mementingkan pengembangan individu yang menolak intervensi
pemerintah dari berbagai aspek, menolak biaya sosial yang mahal serta mendukung
berbagai kebijakan yang bersifat konservatif. Berdasarkan dari hasil research
yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia bersama dengan Australia
National University yang telah melakukan penelitian dengan mengambil 508
responden yang dipilih secara acak dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
yang berasal dari 31 provinsi di indonesia, survey ini dilakukan dari berbagai
pernyataan dan dengan skala 1-10 dan menghasilkan klasifikasi haluan sayap
partai sebagai berikut;
Dari skala 1-10 yang telah dinyatakan oleh kader-kader partai
terkait partai politik yang diikuti telah menunjukan bahwasanya tidak ada
perbedaan yang mencolok antara partai satu dengan partai lainnya mengenai
spektrum arah haluan partai politik. Hal seperti ini disebabkan karena
kekalahan ideologi partai kanan-kiri, sebagaimana ditulis oleh Macionis dan
Gerber pada bukunya yang berjudul Sociology ditulis tahun 2004 bahwa, setiap
negara memiliki karakter spektrum arah haluan yang berbeda dari negara lain,
seperti di Canada, spektrum arah haluan partai politik ekstrim kiri ada berada
di partai komunis, spektrum arah haluan partai politik ekstrim kanan ada di
partai konservatif dan yang berada ditengah dinamakan partai politik berhaluan Liberal. Jika melihat kembali ke partai politik di Indonesia, partai yang
berada spektrum arah haluan kiri adalah partai yang dekat dengan paham Sosialisme, di kanan ada paham Konservatisme yang langsung diterjemahkan
sebagai partai yang berbasis agama (tetapi dalam beberapa literasi partai
politik berbasis agama lebih condong ke paham Sosialis), sedang yang berada di
tengah adalah partai Konservatif yang diterjemahkan sebagai partai Nasionalis yang
bisa saja arah kebijakannya condong ke kiri ataupun ke kanan. Sebenarnya, konsep
spektrum partai politik yang condong ke-kanan bukanlah tentang keyakinan yang
bersumber dari agama, tetapi ini adalah bentuk perlawanan dari paham Marxisme
yang dikenal sebagai paham kiri dan diterapkan di partai politik, paham kanan
beranggapan bahwa pemerintah sudah terlalu jauh mengintervensi pasar dan paham
ini mempercayakan pasar untuk berjalan dengan sendirinya.
Tetapi jika melihat hasil dari diagram diatas, bahwasanya partai
politik di Indonesia lebih cenderung mengarah pada arah spektrum haluan kanan. Alih-alih agak kekiri sedikit, yang berarti bahwasanya basis agama dalam
spektrum partai politik di Indonesia masih cenderung kuat meskipun basisnya Nasionalis tetapi nilai nilai ke-agamaannya tetaplah ada, mengingat mayoritas masyarakat
yang ada di Indonesia memeluk agama Islam dan ini menjadi alasan besar untuk
merebut suara di setiap kontestasi politik electoral. Ini menjadi alasan besar
kenapa kecenderungan arah spektrum partai politik di Indonesia tidak berani
menyatakan ekstrim kanan dan lebih menyatakan agak ke kiri sedikit. Disisi lain
penggunaan diksi “kiri” masih terbilang negative di Indonesia karena sejarah
kelam dari partai komunis Indonesia yang berhasil meninggalkan trauma buruk
kepada masyarakat di Indonesia dan akhirnya spektrum haluan partai politik di Indonesia tidak terlalu ekstrim ke kanan.
Kekalahan ideologi partai politik kanan-kiri juga menghasilkan sebuah
ideologi tengah baru. Ketakutan kader partai dan masyarakat mengenai sebuah
paham ekstrim yang ditetapkan partai politik bisa menjadi alasan utama mengapa
partai partai di Indonesia tidak memiliki ideologi yang ekstrim. Sepanjang
sejarah partai politik di Indonesia, spektrum arah haluan partai politik kiri
lebih cenderung ke arah kebijakan-kebijakan yang sifatnya Sosialis seperti
pelarangan free trade, pendidikan, hak asasi manusia dan lain sebagainya.
Sedangkan partai politik yang memiliki spektrum arah haluan ke kanan menawarkan
solusi Profetikisme. Sekarang sudah terbukti bahwa partai yang memiliki paham
ekstrim tidak laku di Indonesia.
Meminjam logika Samuel P. Huntington dalam karyanya tentang
partisipasi politik masyarakat di Negara berkembang, dapat diketahui bahwa
setiap model partisipasi selalu berangkat dari asumsi yang berbeda. Asumsi
inilah yang kemudian menjadi titik tolak dari mana suatu partisipasi itu akan
dimulai. Hal yang sama pasti juga terjadi dalam kasus ideologi partai politik.
Bahwa setiap partai yang memiliki ideologi berbeda, sudah pasti mempunyai
asumsi yang berbeda pula mengenai sistem politik terbaik yang mestinya
diimplementasikan di Indonesia. Mustahil partai dengan ideologi berbeda akan
memiliki kesamaan keyakinan garis perjuangan politik. Jika diasumsikan pada
spektrum haluan partai politik, maka bisa disimpulkan bahwa partai politik yang
berhaluan kanan tidak bisa berubah secara tiba-tiba menjadi berhaluan kiri
ataupun sebaliknya atau bahkan menjadi ketengah. Jauh dari pembahasan ini
bahwasanya dalam negara yang menganut sistem demokrasi spektrum arah haluan
partai politik antara kanan dan kanan adalah sebuah sistem yang harus dijaga
keberadaannya, mereka semua adalah sistem yang sudah hakekatnya harus ada untuk
saling melengkapi. Jika salah satu dari spektrum partai politik tersebut hilang, maka ekosistem dalam sistem kepartaian di Indonesia akan mengalami kecacatan,
dan mungkinkah ini adalah kecacatan?
Kontras Perbedaan antara Partai Politik di Indonesia
Perbedaan
ideologi partai politik sangatlah penting diketahui oleh masyarakat luas, hal
ini membantu masyarakat untuk lebih mudah memahami dasar dari visi dan misi
partai politik yang akan diterapkan oleh kader-kadernya jika menjabat nantinya.
Bahkan Karl Marx dan Plato setuju serta berpendapat bahwasanya ideologi adalah cultural
belief yang dipergunakan oleh masyarakat untuk memberikan justifikasi
konsepsi keadilan, kebebasan, kemerdekaan, dan sejenisnya. Dari lembaga research
yang sama telah meneliti kecenderungan ideologi partai di Indonesia antara Pancasilais dan Agamis, dari berbagai pernyataan dan metode penelitian yang ada
di akumulasi menjadi skor 1 sampai 10 maka menghasilkan diagram sebagai
berikut:
Dari diagram diatas telah menggambarkan bahwasanya isu satu-satunya
yang berhasil membuat perbedaan secara signifikan terhadap partai politik di Indonesia adalah isu agama. Politik identitas masih menjadi hal yang dipuja-puja di Indonesia khususnya partai politik yang dapat meraup suara dari politik
identitas mengingat Indonesia adalah negara yang mayoritas masyarakatnya
memeluk agama Islam. Dari perspektif masyarakat justru sangat baik jika partai
politik memiliki ketegasan ideologi yang berbeda antara Pancasilais dan Islamis, jadi masyarakat justru mudah mengetahui apa ideologi dasar dari sebuah
partai politik karena ini akan berpengaruh kepada kebijakan-kebijakan yang akan
diterapkan oleh kader-kader di partai politik nantinya. Jika di Indonesia hal
yang membuat kontras antara partai politik adalah isu agama, maka asumsi-asumsi
dari setiap partai politik juga berbeda, interpretasi partai politik akan
kebijakan-kebijakan politis akan berbasis dari ideologi partai politik
tersebut. Sistem demokrasi juga mendukung berdirinya sebuah organisasi yang
anggotanya memiliki basis pandangan ideologi yang sama atau disebut dengan
partai politik, meskipun Indonesia bukanlah negara Islam dan menganut ideologi Pancasila, tetapi sistem demokrasi ini mengizinkan partai berbasis agama tetap
berdiri di Indonesia. Hal seperti ini sangatlah baik dan bisa membuat
masyarakat memproyeksikan bahwasanya kualitas demokrasi di Indonesia sangatlah
baik, terbukti dari pemilu-pemilunya yang sering berhasil walaupun jumlah
partai politiknya banyak dan terkesan sangat rumit.
Fenomena Pembiasan Ideologi Partai Politik di Indonesia.
Pembiasan ideologi
partai politik di Indonesia saat ini sudah sangat nampak terjadi, alasan utama
yang menuntut fenomena ini terjadi adalah adanya threshold dalam kontestasi
politik electoral. Mari ambil salah satu contoh yang sempat menjadi perdebatan
dikalangan akademisi maupun masysarakat luas yaitu Presidential threshold.
Presidential threshold adalah sebuah ambang batas yang telah ditentukan untuk
menjadi seorang kandidat Presiden, di Indonesia sendiri salah satu syarat untuk
menjadi seorang kandidat Presiden adalah harus mencapai ambang batas threshold
itu sendiri yaitu harus memiliki sedikitnya 20-25% suara di Parlemen, dengan
kata lain pasangan calon kandidat Presiden harus mengantongi partai-partai yang
ada di Parlemen sebanyak 20% agar bisa mendaftatar sebagai pasangan calon Presiden. Peraturan ini memaksa partai politik di Indonesia membuat koalisi
raksasa antara partai satu dengan partai yang lainya. Koalisi raksasa ini
cenderung memaksa partai politik yang memiliki basis ideologi yang berbeda
untuk membentuk sebuah koalisi raksasa agar bisa mengusung salah satu calon
presiden dan wakil presiden di kontestasi electoral nantinya.
Fenomena semacam ini sudah terjadi di dunia perpolitikan Indonesia,
bagaimana partai sebuah partai PPP yang berbasis agama bisa menjalin koalisi
dengan PDI-P yang memiliki basis nasionalis dan begitupun sebaliknya. Seperti
yang dikatakan Samuel P. Hatingtong, mungkin benar bahwasanya partai yang sudah
memiliki basis ideologi yang kuat tidak akan mudah berpindah ideologi dan
mustahil memiliki pandangan yang sama dengan partai politik yang memiliki
ideologi berbeda, tetapi fenomena semacam ini agak sedikit membantah teori
tersebut bahwasanya kepentingan kekuasaan dan peraturan yang ada menjadi faktor
utama kenapa partai politik di Indonesia memiliki koalisi yang sama mesti
memiliki ideologi yang berbeda. Perlu diketahui bahwa fenomena seperti ini
membuat partai politik di Indonesia memiliki fenomena yang disebut kartel
partai politik dan cenderung bersifat bagi-bagi jabatan setelah kader-kadernya
menjabat nantinya.
Sedikit meminjam istilah Marx dan Plato bahwasanya ideologi adalah cultural
belief yang dipergunakan oleh masyarakat untuk memberikan justifikasi
konsepsi keadilan, kebebasan, kemerdekaan, dan sejenisnya. Seharusnya jika
partai politik di Indonesia memiliki ideologi yang jelas tanpa ada pembiasan
semacam ini maka masyarakat akan memiliki patokan partai basis apa yang akan
mereka pilih sebagai cultural belief yang akan partai politik perjuangkan untuk
masyarakat yang memilihnya, ini membuktikan bahwasanya ideologi bukan lagi hal
yang penting bagi partai politik saat sudah dihadapi dengan pragmatisme
kekuasaan. Disisi lain jika partai politik tidak segera mengukuhkan ideologinya, maka masyarakat akan terus menerus menganggap partai memiliki orientasi
pragmatis karena partai politik sendiripun tidak memiliki pegangan yang teguh
dengan ideologi yang mereka anut.
x
Hal-hal yang sedang diperjuangkan oleh banyak LSM Kepemiluan
beserta para akademisi adalah penghapusan threshold itu sendiri. Selain
berdampak membiasakan ideologi partai, threshold juga merupakan sebuah langkah
memberi kecacatan demokrasi. Bayangkan saja, Indonesia memiliki 20 partai
politik yang bisa dibilang ini adalah jumlah yang sangat banyak, tetapi
dikarenakan threshold yang mencekik, maka calon presiden dan wakil presiden
hanya berjumlah dua pasangan calon. Bagaimana bisa dua pasangan calon presiden
bisa mewakili keinginan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dampak
baiknya jika threshold dihapuskan selain membuat partai politik mengukuhkan
ideologinya adalah masyarakat Indonesia memiliki varian kandidat yang bisa mereka
pikirkan secara rasional dalam memilih di pemilihan umum.
Pentingkah
Partai Politik Membuat Koalisi Berdasarkan Basis Ideologinya?
Ideologi dalam
partai politik merupakan basis pergerakan mau kemana kebijakan-kebijakan yang
akan diterapkan jika menjabat nantinya, dengan kata lain ini bisa menjadi
patokan masyarakat dalam memilih. Tetapi menyikapi fenomena pembiasan ideologi
partai yang mana bahwasanya partai politik bisa berkoalisi dengan partai
politik lainya yang memiliki ideologi yang berbeda juga merupakan hal baik. Karena bisa dibayangkan jika partai politik membentuk koalisi raksasa
berdasarkan ideologi yang sama. Misalnya, partai politik yang memiliki ideologi
nasionalis membuat koalisi raksasa dengan partai politik yang berideologi
nasionalis juga ataupun sebaliknya. Hal yang dikhawatirkan adalah akan terjadi
polarisasi masyarakat berdasarkan ideologi partai politik yang dianut, bisa
saja masyarakat yang memiliki pandangan nasionalis akan memilih partai politik
yang memiliki basis nasionalis dan bisa saja masyarakat yang memiliki pandangan
agamis akan memilih partai politik yang berbasis agamis, hal yang dikhawatirkan
adalah akan terjadi sebuah polarisasi yang kuat dan mengakibatkan perpecahan
antar masyarakat luas.
Masih dalam sisi yang sama dampak dari buruk dari terbentuknya
koalisi partai politik berdasarkan ideologi partai yang sama akan menimbulkan
rancangan undang-undang yang cenderung tidak mewakili masyarakat luas.
Contohnya jika koalisi partai politik yang berbasis nasionalis akan menang di
kontestasi politik electoral maka hal yang ditakutkan adalah jika rancangan
undang-undang yang dibentuk tidak bisa mewakilkan masyarakat yang memiliki
pandangan agamis, maka dari itu pembentukan koalisi yang memiliki ideologi yang
berbeda masih memiliki dampak baik. Bayangkan saja jika partai politik berbasis
nasionalis membentuk koalisi dengan partai politik yang berbasis agamis,
rancangan undang-undang yang akan dibentuk pasti tetap memiliki nilai nilai
nasionalis dan tidak akan kehilangan Syariat-syariat agamis yang dapat mewakili
pandangan masyarakat di indonesia. Jadi bisa dikatakan mereka semua adalah
sebuah ekosistem yang sudah memang kodratnya diciptakan untuk saling
melengkapi.
Fairuz Arta Abhi Praya
Anggota Divisi Pendidikan Pemilih KISP
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY
Komentar
Posting Komentar